Sejarah mencatat, dokter merupakan
profesi yang mulia karena berusaha menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan
manusia. Kemuliaannya sulit diukur dengan sesuatu yang berbau materiil.
Konon ketika negara kita belum merdeka, para dokter pribumi, seperti
dokter Wahidin dan dokt
er Sutomo sangat jarang dibayar. Ada suatu
kenikmatan apabila dokter berhasil menyembuhkan pasiennya.
Namun, di era modern sekarang ini, dokter-dokter yang memiliki jiwa
pengabdian semakin langka. Nilai-nilai kemanusiaan tergantikan
nilai-nilai materi. Sebagian dokter kemudian dicap 'matre', tidak peka
terhadap pasien, angkuh dan sebagainya.
Meski para dokter harus membayar mahal (biaya studi, waktu, tenaga
dan pikiran) agar bisa mengabdi sesuai tuntutan masyarakat, masih ada
dokter-dokter di negeri ini yang tetap terpanggil untuk memberikan
dirinya menolong orang-orang yang membutuhkan. Salah satunya, dr Aulia
Sani, mantan Utama Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) yang kini lebih banyak
menghabiskan waktunya mengajar di Universitas Indonesia dan bekerja di
unit rehabilitasi rumah sakit PJNHK. Meski pernah menjadi orang nomor
satu di rumah sakit rujukan nasional ini, hidupnya tetap bersahaja.
Sebab baginya, profesi dokter adalah pengabdian.
Bagi sebagian besar orang, istilah pengabdian cuma sebuah kata yang
sudah lama dibuang dari kamus kehidupan mereka. Namun bagi dr Sani,
begitu ia biasa dipanggil, pengabdian adalah panggilan. Pilihan hidupnya
ini bisa ia lakoni tidak lepas dari dukungan istri dan pesan ayahnya
sebelum meninggal.
Selain itu, rencana Tuhan jualah yang menjadikan ia bisa dikenal
sebagai dokter spesialis jantung yang cukup terkenal di Tanah Air.
Pilihannya untuk menjadi kardiolog bukan karena kebetulan. Namun lewat
pengalaman dramatis yang sulit untuk dilupakannya. Sang ayah yang sangat
dicintainya, datang mengunjunginya yang sedang bekerja sebagai dokter
Puskesmas di Riau.
Saat itu ia menjabat sebagai Kepala Puskesmas kecamatan Siak Hulu,
Kabupaten Kampar, di Simpang Tiga Propinsi Riau. Dalam perjumpaan dengan
ayahnya di tahun 1977 itu, dr Sani mendapat berbagai nasihat. Ayahnya
berpesan agar ia menjadi dokter yang baik, yang tidak mementingkan uang
tetapi menolong orang. Dr Sani juga diminta untuk menjaga dan mendidik
anak-anaknya menjadi orang yang baik serta memintanya agar menikah satu
kali saja.
Saat itu, dr Sani tidak menyangka kalau perjumpaan dengan ayahnya itu
akan menjadi perjumpaan yang terakhir. Esoknya, sang ayah pergi
menghadap Yang Maha Kuasa meninggalkan pesan-pesannya di hati dr Sani.
Pesan-pesan ayahnya itu lah yang membakar semangatnya untuk menjadi
dokter yang baik dan mengabdi. Baginya, meski cuma lulusan universitas
kecil, Universitas Andalas, Padang, ia bertekad untuk berpikir dan
berkarya lebih maju dibandingkan lulusan-lulusan dari universitas yang
terkenal.
Berkat tekadnya itu dan bekerja disiplin selama di Puskemas, dokter
yang lahir di Bagan Siapi-api, 9 Mei 1945 ini mendapat predikat dokter
teladan se Propinsi Riau tahun 1980. Selama bertugas mengobati
masyarakat, ia melihat banyak kasus-kasus penyakit jantung. Sebagai
dokter umum, ia kesulitan mengobati pasien-pasien seperti itu. Saat itu,
dokter jantung masih terhitung jari dan rumah sakit jantung belum ada.
Kenyataan ini dan ingatan akan pesan ayahnya mendorong dr Sani datang
ke Jakarta mencoba melamar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI) mengambil jurusan kardiologi. Ia menemui almarhum dr. Sukaman
yang saat itu menjabat sebagai kepala bagian kardiologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ada satu pertanyaan dr. Sukarman yang masih diingat olehnya, "Kenapa saudara memilih kardiologi?"
Dr Sani kemudian menjawab, "Menurut saya, masalah kardiologi akan
menonjol di masa depan dan memerlukan ahli yang banyak." Jawaban dr Sani
ini rupanya menyukakan hati dr Sukaman yang juga menjadi dokter pribadi
mantan Presiden Soeharto
(alm) dan meminta dr Sani agar segera pulang ke Riau mengumpulkan uang
untuk biaya sekolah. Satu tahun kemudian, 1981, dr Sani diterima di FKUI
RSCM bagian kardiologi. Tahun 1984, dr Sani menyelesaikan studinya dan
dilantik menjadi spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1985.
Kedekatannya dengan dr Sukaman membuatnya tidak perlu bersusah payah
meretas karir sebagai dokter. Dr Sukaman memintanya agar tidak pergi ke
daerah sebab ia akan mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Singkat cerita, dr Sani bekerja di rumah sakit yang baru didirikan
tersebut sebagai staf di bagian Unit Pelayanan F Rehabilitasi.
Pekerjaannya di Unit Pelayanan F Rehabilitasi sempat terhenti karena ia diangkat menjadi Direktur
Penunjang Medik dan Pendidikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dari
tahun 1994-1998. Setelah itu ia dipercaya menjabat sebagai Direktur
utama sampai 2005. Karena usianya yang sudah berkepala enam, dr Sani
mengundurkan diri dan kembali ke Unit Pelayanan F Rehabilitasi dan
mengajar di kampus almamaternya Universitas Indonesia.
Meski sudah tidak muda lagi, sebagai seorang ilmuwan, dr Sani tidak
berhenti membaca. Dengan mengutip isi sebuah jurnal terbitan terbaru
yang sedang dibacanya, dr Sani mengatakan bahwa medical is a long life
study (ilmu kedokteran adalah ilmu seumur hidup). Ia mengingatkan bahwa
penyakit terus berkembang. Bila hari ini disebut indikasi, di lain waktu
akan menjadi kontra indikasi. Kalau dulu ada obat yang disangka hanya
untuk demam seperti aspirin, namun menurut riset di negara maju bisa
digunakan untuk pengencer darah.
Keteguhannya untuk tidak berhenti belajar tidak lepas dari mimpinya,
mendidik dokter-dokter baru agar bisa lebih pintar darinya. Ia berusaha
agar semakin banyak dokter yang mau bergerak di bidang jantung sebab di
negeri ini, penyakit jantung menjadi penyebab kematian nomor satu.
Menurut statistik, tahun 1996 terdapat 16,4% kematian akibat penyakit
jantung, meningkat menjadi 24,5% tahun 2001.
Dr Sani memperkirakan, tahun 2008 persentasenya meningkat bisa
mencapai 30% melanda orang-orang berusia produktif di kota-kota besar
seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan sebagainya.
Fakta statistik ini membuat dr Sani ingin berperan lebih besar
mendidik masyarakat untuk mencegah penyakit jantung.
Apakah menjadi dokter spesialis anak itu merupakan profesi yang tidak mudah?
ReplyDelete