Monday, May 27, 2013

tokoh inspiratif - Dr. H Aulia Sani, SpJP(K), FJCC, FIHA

Sejarah mencatat, dokter merupakan profesi yang mulia karena berusaha menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan manusia. Kemuliaannya sulit diukur dengan sesuatu yang berbau materiil. Konon ketika negara kita belum merdeka, para dokter pribumi, seperti dokter Wahidin dan dokt
er Sutomo sangat jarang dibayar. Ada suatu kenikmatan apabila dokter berhasil menyembuhkan pasiennya.
Namun, di era modern sekarang ini, dokter-dokter yang memiliki jiwa pengabdian semakin langka. Nilai-nilai kemanusiaan tergantikan nilai-nilai materi. Sebagian dokter kemudian dicap 'matre', tidak peka terhadap pasien, angkuh dan sebagainya.
Meski para dokter harus membayar mahal (biaya studi, waktu, tenaga dan pikiran) agar bisa mengabdi sesuai tuntutan masyarakat, masih ada dokter-dokter di negeri ini yang tetap terpanggil untuk memberikan dirinya menolong orang-orang yang membutuhkan. Salah satunya, dr Aulia Sani, mantan
Direktur
Utama Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya mengajar di Universitas Indonesia dan bekerja di unit rehabilitasi rumah sakit PJNHK. Meski pernah menjadi orang nomor satu di rumah sakit rujukan nasional ini, hidupnya tetap bersahaja. Sebab baginya, profesi dokter adalah pengabdian.
Bagi sebagian besar orang, istilah pengabdian cuma sebuah kata yang sudah lama dibuang dari kamus kehidupan mereka. Namun bagi dr Sani, begitu ia biasa dipanggil, pengabdian adalah panggilan. Pilihan hidupnya ini bisa ia lakoni tidak lepas dari dukungan istri dan pesan ayahnya sebelum meninggal.
Selain itu, rencana Tuhan jualah yang menjadikan ia bisa dikenal sebagai dokter spesialis jantung yang cukup terkenal di Tanah Air. Pilihannya untuk menjadi kardiolog bukan karena kebetulan. Namun lewat pengalaman dramatis yang sulit untuk dilupakannya. Sang ayah yang sangat dicintainya, datang mengunjunginya yang sedang bekerja sebagai dokter Puskesmas di Riau.
Saat itu ia menjabat sebagai Kepala Puskesmas kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, di Simpang Tiga Propinsi Riau. Dalam perjumpaan dengan ayahnya di tahun 1977 itu, dr Sani mendapat berbagai nasihat. Ayahnya berpesan agar ia menjadi dokter yang baik, yang tidak mementingkan uang tetapi menolong orang. Dr Sani juga diminta untuk menjaga dan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik serta memintanya agar menikah satu kali saja.
Saat itu, dr Sani tidak menyangka kalau perjumpaan dengan ayahnya itu akan menjadi perjumpaan yang terakhir. Esoknya, sang ayah pergi menghadap Yang Maha Kuasa meninggalkan pesan-pesannya di hati dr Sani. Pesan-pesan ayahnya itu lah yang membakar semangatnya untuk menjadi dokter yang baik dan mengabdi. Baginya, meski cuma lulusan universitas kecil, Universitas Andalas, Padang, ia bertekad untuk berpikir dan berkarya lebih maju dibandingkan lulusan-lulusan dari universitas yang terkenal.
Berkat tekadnya itu dan bekerja disiplin selama di Puskemas, dokter yang lahir di Bagan Siapi-api, 9 Mei 1945 ini mendapat predikat dokter teladan se Propinsi Riau tahun 1980. Selama bertugas mengobati masyarakat, ia melihat banyak kasus-kasus penyakit jantung. Sebagai dokter umum, ia kesulitan mengobati pasien-pasien seperti itu. Saat itu, dokter jantung masih terhitung jari dan rumah sakit jantung belum ada.
Kenyataan ini dan ingatan akan pesan ayahnya mendorong dr Sani datang ke Jakarta mencoba melamar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengambil jurusan kardiologi. Ia menemui almarhum dr. Sukaman yang saat itu menjabat sebagai kepala bagian kardiologi Rumah Sakit
Mendirikan Indische Partij (1912)
Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ada satu pertanyaan dr. Sukarman yang masih diingat olehnya, "Kenapa saudara memilih kardiologi?"
Dr Sani kemudian menjawab, "Menurut saya, masalah kardiologi akan menonjol di masa depan dan memerlukan ahli yang banyak." Jawaban dr Sani ini rupanya menyukakan hati dr Sukaman yang juga menjadi dokter pribadi mantan
Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Presiden Soeharto (alm) dan meminta dr Sani agar segera pulang ke Riau mengumpulkan uang untuk biaya sekolah. Satu tahun kemudian, 1981, dr Sani diterima di FKUI RSCM bagian kardiologi. Tahun 1984, dr Sani menyelesaikan studinya dan dilantik menjadi spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1985.
Kedekatannya dengan dr Sukaman membuatnya tidak perlu bersusah payah meretas karir sebagai dokter. Dr Sukaman memintanya agar tidak pergi ke daerah sebab ia akan mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Singkat cerita, dr Sani bekerja di rumah sakit yang baru didirikan tersebut sebagai staf di bagian Unit Pelayanan F Rehabilitasi.
Pekerjaannya di Unit Pelayanan F Rehabilitasi sempat terhenti karena ia diangkat menjadi
Lihat Daftar Direktur
Direktur Penunjang Medik dan Pendidikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dari tahun 1994-1998. Setelah itu ia dipercaya menjabat sebagai
Lihat Daftar Direktur
Direktur utama sampai 2005. Karena usianya yang sudah berkepala enam, dr Sani mengundurkan diri dan kembali ke Unit Pelayanan F Rehabilitasi dan mengajar di kampus almamaternya Universitas Indonesia.
Meski sudah tidak muda lagi, sebagai seorang ilmuwan, dr Sani tidak berhenti membaca. Dengan mengutip isi sebuah jurnal terbitan terbaru yang sedang dibacanya, dr Sani mengatakan bahwa medical is a long life study (ilmu kedokteran adalah ilmu seumur hidup). Ia mengingatkan bahwa penyakit terus berkembang. Bila hari ini disebut indikasi, di lain waktu akan menjadi kontra indikasi. Kalau dulu ada obat yang disangka hanya untuk demam seperti aspirin, namun menurut riset di negara maju bisa digunakan untuk pengencer darah.
Keteguhannya untuk tidak berhenti belajar tidak lepas dari mimpinya, mendidik dokter-dokter baru agar bisa lebih pintar darinya. Ia berusaha agar semakin banyak dokter yang mau bergerak di bidang jantung sebab di negeri ini, penyakit jantung menjadi penyebab kematian nomor satu. Menurut statistik, tahun 1996 terdapat 16,4% kematian akibat penyakit jantung, meningkat menjadi 24,5% tahun 2001.
Dr Sani memperkirakan, tahun 2008 persentasenya meningkat bisa mencapai 30% melanda orang-orang berusia produktif di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan sebagainya.
Fakta statistik ini membuat dr Sani ingin berperan lebih besar mendidik masyarakat untuk mencegah penyakit jantung.

1 comment:

  1. Apakah menjadi dokter spesialis anak itu merupakan profesi yang tidak mudah?

    ReplyDelete