Di luar sangat menakutkan. Angin bertiup kencang. Berdiri bulu romaku
melihat pepohonan terpontang panting tumbang di dekat rumah. Kucoba
mengalihkan perhatian, mengambil headset kemudian memutar musik
sekeras-kerasnya.
Suara gemuruh angin membuatku takut. Wah… wah… wah… tak bisa kubayangkan betapa takutnya aku jika hari ini kiamat terjadi.
Tak lama angin bertiup kencang. Akhirnya rintik hujan berlomba turun
menghujam bumi. Leganya melihat air yang jatuh dari langit itu. Degupan
di dadaku berhenti.
Kejadian ini membuatku merenung untuk memperbaiki diri dari kesalahan
dan mulai perbanyak amal kebaikanku. Siapa tau kiamat datang tiba-tiba,
dan aku tidak punya banyak bekal menghadapinya.
Semalaman sulit rasanya memejamkan mata. Hatiku menjerit seolah memintaku bertobat.
Tobat… tobat… tobat…
Jeritan ini semakin mendesakku.
Tak terasa sekarang sampai pada sepertiga malam. Aku keluar dan bersegera wudhu. Sepertinya aku benar-benar akan taubat.
Kuangkat kedua tanganku beriringan dengan takbir ‘Allahu Akbar’ dan mulailah aku pada rakaat pertama.
Hatiku merasa lebih tenang ketika dahi menyentuh lantai yang beralaskan
sajadah berwarna hijau tua. Aku merasa nyaman dengan posisi sujud ini.
Aku merasa seperti berada di padang gurun, yang berhias bunga-bunga
indah. Kuhanyut pada indahnya bunga-bunga yang sedang bermekaran disana.
Di tengah indah yang kurasa, tiba-tiba badanku bergoncang. Aku
mendengar suara seseorang memanggil.
“Astagfirullah… Rahman! Sholat kok bisa sampai ketiduran,” ujar lelaki
paruh baya itu menegur kecerobohanku, tertidur saat sholat.
“Ayo… bangun!” paksanya menggoncang tubuhku.
Lelaki paruh baya itu tak lain adalah ayahku.
Ayah adalah salah satu tokoh masyarakat yang dihormati di tempat
tinggalku. Beliau sebagai pemuka agama yang terkenal dermawan.
Petuah-petuah yang disampaikannya adalah hal yang di nantikan masyarakat
disana.
“Rahman terbawa suasana Yah.”
Ini yang jadi masalah dalam hidupku, setiap kali berniat untuk taubat
ada saja penghalangnya. Kalau begini terus, akan sangat tak mungkin bisa
melakukan taubat secara total. Belum lagi ditambah dengan godaan yang
datang dari para gadis yang dekat denganku. Semakin pesimis rasanya
untuk melakukan itu.
Malam pun kini menjelma menjadi pagi hari yang indah. Sinar mentari
menyambutku hangat. Kicau burung menyapaku mesra. Senang rasanya pagi
seperti ini bisa melihat anak kecil berlarian di depan rumah. Aku hanya
menyaksikan mereka dari balik jendela kamar.
Pelan-pelan tirai jendela kubuka.
Sebenarnya aku tak sengaja, tapi perempuan itu cantiknya luar biasa.
Mendadak, serasa enggan mengalih pandangan darinya. Tiba-tiba pintu
kamarku terbuka. Dan entah bagaimana Ayah sudah berdiri di belakangku.
“Zinanya mata adalah melihat sesuatu, zinanya lisan adalah mengucapkan
sesuatu, zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan sesuatu,
sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu semua. Ini
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,” lagi-lagi lelaki
paruh baya ini menasehatiku, membuatku kehilangan kesempatan berharga
pagi ini.
Kutolehkan kepala kearah Ayah. Tak enak rasanya bicara dengan
orangtua tanpa melihatnya. “Maksud Ayah?” tanyaku pura-pura tak
mengerti.
“Ayah melihat, kamu sedang memandang Husna. Kamu sedang menikmati
kecantikan yang ada padanya,” jawabnya, “Tidak pantas kamu seperti itu.
Kamu sedang berusaha memaksa dirimu untuk mendekat pada zina. Istigfar
Abdurrahman! Segeralah menikah jika kamu sudah merasa sanggup,”
lanjutnya memakiku.
Sebenarnya Ayah tidak pernah memaksaku untuk segera menikah, tapi aku
selalu merasa Ayah selalu saja mendesakku untuk segera menikah. Sama
sekali tidak terpikir olehku untuk melakukannya. Apalagi saat ini aku
hanya seorang pengangguran. Bagaimana bisa aku menikah tanpa memberikan
nafkah pada keluargaku nanti.
Harusnya aku bersyukur mempunyai Ayah sepertinya. Selalu hadir dengan
nasehat-nasehat yang akan menyelamatkanku dari kesesatan. Tapi mengapa
sesulit ini aku menerima nasehat-nasehat darinya?
Seolah aku ingin berontak atas kepeduliannya padaku. Sepertinya aku
lebih suka hidup bebas daripada harus terkekang bersamanya. Andai Ibu
masih ada mungkin hidupku jauh lebih nyaman. Hanya Ibu yang bisa
mengerti aku dan pola hidupku yang semberaut ini.
Singkat cerita,
Makin lama makin menjadi-jadi kelakuan burukku. Sulit rasanya
mengendalikan diri dari hawa nafsu. Aku tergiur akan mega dunia. Lupa
pada kewajibanku sebagai seorang muslim. Pantas jika Ayah membenciku.
Aku hanya jadi aib baginya.
Ingin sekali kuterlepas dari kegelapan ini, tapi sulit sekali bagiku.
Aku terlanjur mencintai dunia. Noda hitam menyelimuti hampir semua
bagian di hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa mensucikannya kembali dari
noda itu?
Makin ke depan hidupku makin tak berarah. Ayah sepertinya sudah bosan
menasehatiku. Dia tak peduli lagi dengan apa yang kulakukan. Untunglah
Ayah masih mengizinkan aku tinggal di rumah.
Tepat pukul 16.00.
Awan hitam pekat hadir menghias langit. Burung-burung tak ada yang
berlalu lalang lagi di sekitar rumahku. Di luar senyap sekali tidak ada
aktivitas. Kenapa sore ini tak sebising biasanya? gumamku. Pelan-pelan
aku mengintip ke langit dari balik tirai kamar. Aku khawatir akan
terjadi suatu hal yang membuat nyawaku melayang. Ritme jantungku mulai
tak berirama.
Ditambah dengan suara petir yang menggelagar di angkasa. Semakin luar
biasa ketakutanku sore ini, terhenti rasanya nafasku sekarang.
Kucoba untuk tenang, berusaha mengalihkan perhatian dari kondisi alam
yang kurang baik hari ini. Pelan-pelan kurebahkan tubuhku di tempat
tidur. Kupejamkan mata agar lebih santai menghadapinya.
Tak berapa lama, aku merasa terbang ke suatu tempat. Ketempat yang gelap
sekali. Disana banyak binatang buas yang sudah menghadang. Dahiku mulai
berkucuran keringat.
Sejenak kucoba mengingat, barang kali aku mengenal tempat ini. Tapi, aku
merasa asing. Sepertinya aku memang tak pernah kemari sebelumnya.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Luar biasa takutnya
aku. Tubuhku lemas rasanya. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan
terjadi. Kupejamkan mataku agar tak melihat sosok yang menepuk pundakku
itu.
Dia memintaku membuka mata dan berbalik ke arahnya. Awalnya kucoba
menolak dengan menggeleng-gelengkan kepala. Tapi dia memintanya lagi.
Pelan-pelan kuberanikan diri untuk melakukan perintahnya. Tu wa ga,
srettt! Aku berbalik ke arahnya. Allahu Akbar… teriakku kaget. Ternyata
orang itu adalah Ibuku. Spontan aku langsung ingin memeluknya, aku
sangat merindukannya, benar-benar sangat rindu padanya. Tapi dia
menghindar. Dia tidak ingin kusentuh. Hancur rasa hatiku melihat Ibu
seperti itu.
Kenapa Ibu tidak ingin kupeluk? Apa Ibu tidak rindu padaku? tanyaku. Dia
hanya diam menatap tajam kornea mataku. Tak bisa kututupi kesedihan
yang kurasakan, mendadak airmataku berjatuhan.
Kemudian Ibu bergerak, mendekat padaku. “Kamu kotor sekali, Nak! Ibu tak
ingin tersentuh olehmu. Semua orang akan berkata sama seperti yang Ibu
katakan. Semua orang akan menghindar darimu jika kamu tidak segera
membersihkan diri dari kekotoran dan noda-noda hitam yang menempel pada
tubuh dan hatimu,” ujarnya berbisik padaku, “malu pada Allah. Malu
karena kamu tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan-Nya padamu. Tak
lama lagi Ibu akan menjemput Ayah,” lanjutnya kemudian menghilang.
Tak lama Ibu pergi, tubuhku terasa ringan. Sekarang, aku terbang kembali.
Tempat selanjutnya jauh lebih baik. Disana ada cahaya terang, membuat
penglihatanku sedikit lebih nyaman. Tapi cahaya itu makin lama makin
menyilaukan mata. Sakit sekali mataku melihatnya. Kemudian secara
tiba-tiba cahayanya redup kembali.
Pelan-pelan kedua mataku mulai terbuka. Penglihatanku buram, mungkin efek dari cahaya yang sangat terang tadi.
Setelah penglihatanku pulih, barulah kusadari barusan hanyalah mimpi.
Tapi suara Ibu masih terngiang di telingaku. Tiba-tiba aku
mengkhawatirkan Ayah sekarang.
Ibu bilang sebentar lagi akan menjemputnya. Seandainya yang Ibu katakan
benar terjadi. Aku akan kehilangan Ayah, hidup sebatang kara tanpa tau
apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Ditemani hujan. Aku menangis, mengkhawatirkan Ayah, dan menangis mengkhawatirkan jalan hidupku yang salah ini.
Sudah 3 tahun lamanya aku menjalin hubungan dengan Husna. Perempuan cantik yang kutemukan tak sengaja dari balik jendela.
Dia perempuan yang sangat kucintai.
Harusnya di usiaku yang ke-24 ini, aku menikahinya. Tapi, Ayah tak
pernah merestui hubungan kami. Ayah menilai Husna hanya membawa pengaruh
buruk dalam hidupku. Sehingga Ayah tak pernah menggubris keinginanku
untuk menikahinya.
Pernah terlintas di benakku mengajak Husna kawin lari. Tapi, buru-buru
kulupakan hal bodoh itu. Jika kulakukan sama saja dengan membunuh Ayah.
“Rahman!!!”
Tok…tok…tok…
Ayah memanggil sambil menggedor pintu kamarku. Berulang kali Ayah
melakukannya, mengganggu sekali. Malas rasanya membuka mata sepagi ini.
“Iya… iya,” sahutku.
Aku keluar dari kamar dengan rupa acak-acakkan. Samar-samar kulihat dari
kejauhan seorang perempuan duduk di ruangan tamu bersama lelaki tua di
sampingnya.
“Man… kemari sebentar!” pinta Ayah memanggilku.
“Iya!” sahutku cemberut.
Kemudian aku duduk di samping Ayah. Perempuan itu asing di mataku.
Kupikir dia adalah calon istri Ayah. Ternyata prediksiku salah total,
perempuan itu adalah orang yang akan dijodohkan denganku.
Seakan tersengat listrik bertegangan tinggi. Sesak rasanya dadaku mendengar perjodohan ini.
Tak mungkin aku bisa menyukainya, pikirku. Hanya Husna yang bisa
memenangkan hatiku, dia adalah satu-satunya perempuan yang kucinta.
Dengan tegas kutolak permintaan Ayah yang egois ini. Tapi, Ayah tetap
saja bersikeras dengan keinginannya, untuk menikahkanku dengan perempuan
itu. Sempat terjadi perdebatan sengit di antara kami. Tiba-tiba aku
teringat akan pesan yang ibu sampaikan dalam mimpiku. Akhirnya aku
mengalah pada Ayah dan meng-iyakan keinginannya, meskipun sebenarnya itu
bertentangan dengan hatiku.
Mati aku jika Husna mendengar berita buruk ini. Dia pasti akan
meninggalkanku pergi. Aku tak mau hal ini terjadi. Buru-buru
kupersiapkan sandiwara agar berita buruk ini tak mengagetkan kekasihku,
Husna.
Hampir setiap hari kuhabiskan waktu bersama Husna, dengan berhiaskan
canda dan tawa. Mana mungkin ada kesempatan untuk Meisandy masuk ke
hatiku.
Setahun berlalu
Semenjak Ibu hadir dalam mimpiku. Pelan-pelan aku mulai memperbaiki
diri. Sedikit demi sedikit hatiku mulai bersih dari noda-noda hitam yang
melekat. Belakangan ini aku jatuh cinta pada ayah. Dan ayah juga sama
sepertiku. Ayah membalas cintaku dengan memperlakukanku seperti seorang
anak pada umumnya.
Mata hatiku mulai terbuka untuk menerima nasehat darinya. Pelan-pelan
terjawab sudah keraguanku. Ternyata, masih ada kesempatan untuk
memperbaiki diri. Hanya saja masih ada beberapa hal yang tak bisa
kuhentikan. Dan hal tersebut kulakukan bersama Husna.
Sebenarnya, aku menyadari kehadiraan Husna benar-benar membawa pengaruh
buruk padaku. Tapi aku tak bisa pergi begitu saja darinya. Perlu alasan
yang sangat, sangat kuat untuk membuatku pergi meninggalkannya.
Sore ini Meisandy berkunjung ke rumah, ini kali pertama dia
menemuiku. Dia datang sendirian, membawa buah tangan untukku. Tak ada
yang menarik darinya. Tak ada juga yang bisa dinilai darinya. Perempuan
ini biasa saja. Dari caranya berpakaian sampai dengan cara bicaranya.
Aku heran, Ayah kok bisa-bisanya kepikiran menjodohkanku dengan Meisandy.
Semakin kedepan semakin jelas terlihat perhatian Meisandy padaku.
Dengan karakter dan pembawaan khas yang dia miliki. Kini Meisandy hadir
menghiasi hari-hariku. Tapi tetap saja aku tak bisa memperhitungkan
kehadirannya dalam hidupku. karena tak ada sedikit pun celah, di bagian
hatiku yang bisa terisi oleh orang lain selain Husna, kekasihku.
Malam ini ayah menjamu Meisandy makan malam di rumah. Malas rasanya
ikut makan bersama mereka. Pasti akan sangat membosankan, duduk bersama
orang-orang pasif seperti mereka.
Aku adalah orang pertama yang nongkrong di meja makan. Semakin cepat
datang maka akan semakin cepat juga aku meninggalkan mereka, pikirku
picik. Setengah jam sudah aku menunggu di meja makan. Meisandy belum
juga muncul. Muak sekali jika harus menunggu orang seperti dia selama
itu.
“Assalamualaikum.”
Akhirnya datang juga. Aku sudah menyiapkan diri untuk menyantap hidangan
yang ada di depan mata. Sendok dan garpu tinggal lepas landas menuju
piring. Aku sudah tak sabar untuk segera makan.
“Assalamualaikum.”
Sekali lagi, dia mengucapkan salam di depan rumah. Malas rasanya keluar
menyambut kedatangannya. Untung Ayah mau bersusah payah menjemputnya
diluar.
“Maaf… membuat menunggu,” ujarnya.
Dia terlalu basa-basi hanya untuk sekedar makan malam. Hampir aku
memarahinya karena mengulur-ngulur waktu. Apalagi aku sudah kelaparan
seperti ini.
“Cepat duduk,” pintaku sinis.
“Maaf ya.”
Jengkel sekali mendengar basa-basi yang diucapnya. Bukannya segera
duduk, Dia tetap saja berdiri di belakangku. Kalau tak kupaksa orang ini
hanya membuang-buang waktu saja, gumamku. Akhirnya, aku berdiri dari
tempat dudukku dan menoleh kearahnya. Seeettt! Mendadak lidahku jadi
kelu. Aku tak percaya Maisandy secantik ini.
Damai hatiku melihat wajah yang penuh kesejukan itu. Sempurna
penglihatanku pada Maisandy yang mengenakan jilbab hijau tua warna
kesukaanku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi tentangnya malam ini. Aku
khawatir posisi Husna di hatiku terancam tergeser kedudukannya.
“Mari kita mulai makan malamnya.” ajakku.
Tiba-tiba aku menjadi sosok yang hangat untuk Meisandy malam ini.
“Rahman! Bagaimana? Apa kamu sudah siap untuk menikahi Meisandy?” tanya
Ayah mengawali obrolan. Aku tak bisa memutuskan secepat mungkin tentang
pernikahan ini. Tidak ada basa-basi sama sekali Ayah menanyakan hal ini,
membuat hilang selera makan saja.
“Beri Rahman waktu untuk memikirkan hal ini, Yah!” terangku padanya.
“Apalagi yang kamu pikirkan? Menafkahinya? Masalah itu jangan
dipikirkan, nanti Ayah siapkan usaha untuk kalian kelola bersama. Apa
lagi yang membuatmu keberatan?”
“Beri Rahman kesempatan untuk meyakinkan diri, Yah! Jangan mendesak seperti ini.”
“Sampai kapan kamu akan memikirkan ini? Sampai kamu tua bangka? Iya?” ujarnya marah.
“Sampai Rahman menemukan alasan untuk mencintai Meisandy, baru Rahman akan menikahinya,” cetusku tegas.
Makan malam tiba-tiba menjadi hening. Tak enak rasanya, makan dengan
keadaan emosi seperti ini. Kasian Meisandy, hanya tertunduk bisu,
mendengar kami berdebat.
Sekarang aku telah sampai pada saat dimana aku harus memilih. Ini
sangat berat bagiku. Meisandy bukan perempuan yang ku mau tapi ayah
menginginkannya mendampingiku. Andai aku diizinkan, tentu kujatuhkan
pilihan pada Husna.
Waktu terus berjalan. Tak terasa usiaku kini makin tua saja.
Aku yang sekarang tak seburuk dulu lagi. Keinginan untuk berubah kini
terwujud. Tapi lagi-lagi masih ada beberapa hal yang tak bisa
kuhentikan. Dan hal tersebut kulakukan bersama Husna.
Kini, makin menggebu-gebu kurasa perhatian Meisandy padaku. Dia
selalu datang menemaniku. Sekarang tak banyak waktu yang bisa kuhabiskan
bersama Husna.
Ruang gerakku mulai terbatas, Ayah selalu mengawasi pergerakanku untuk
bertemu Husna. Tapi, aku tak sebodoh yang ayah kira. Diam-diam aku
mencuri-curi kesempatan menemui Husna.
Saat ini, berbohong rasanya kalau aku bilang tak suka pada Meisandy.
Pelan-pelan perempuan itu menyelinap masuk dalam hatiku. Kurasa tak lama
lagi aku menemukan alasan mengapa harus menikahinya.
“Rahman!”
Suara itu dekat sekali di telingaku. Ini bukan suara Ayah. Siapa pemilik
suara ini? pikirku bertanya-tanya. Tapi malas sekali rasanya membuka
mata sekarang.
Suara itu terdengar berulang-ulang di telingaku. Oke.. oke aku akan
memaksa mataku agar terbuka. Wah wah wah… pagi sekali mata ini sudah
disuguhi keindahan seperti ini, gumamku. Meisandy tampil cantik pagi
ini. Sekarang ayah benar-benar mengizinkannya melakukan apapun padaku.
“Assalamualaikum.”
Aku suka melihat senyumnya pagi ini.
“Waalaikumsalam.”
“Ini sarapan buat Rahman. Mei sendiri yang memasaknya.”
“Mei gak sarapan?” tanyaku.
“Mei masak cuma satu porsi. Jadi Rahman saja yang makan.”
“Wah… gak adil ini namanya. Ya sudah kita bagi dua makanannya. Sini aku suapin.”
“boleh?” tanyanya polos malu-malu.
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Aku suka sekali mendengar suaranya. Ada khas tersendiri dari suara perempuan yang satu ini.
“Masuk kamarku aja kamu dikasih izin sama Ayah. Apalagi cuman
suap-suapan doang. Pasti bolehlah!” jawabku sambil menertawakan
keluguannya. Seharusnya aku tak semudah ini takluk dan membagi cintaku.
Tak bisa kubayangkan hancurnya Husna andai tau apa yang sedang kulakukan
di belakangnya.
Setengah tahun berlalu
“Harusnya, aku tak lagi menemuimu sekarang! Setelah perjodohanku dengan
perempuan lain. Harusnya, saat ini aku meninggalkanmu, tanpa harus
menemuimu lagi. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku terlalu
menyayangimu, aku benar-benar tak bisa meninggalkanmu.”
Sulit bagiku memikirkan ini sendirian. Akhirnya, aku mengakui tentang
perjodohanku pada Husna. Kusampaikan semua kebenarannya dengan jujur.
Husna hanya diam, belum menunjukan reaksi apapun mendengar pengakuanku.
“Aku tidak bisa berhenti!!! Aku benar-benar tidak bisa menghentikan ini.
Aku tak ingin kehilanganmu. Perasaan ini tulus sekali. Tentang cintaku
padamu, aku benar-benar tidak bisa menghentikannya,” ujarku lagi.
Husna membisu tanpa ekspresi apalagi reaksi. Aku khawatir dia sudah tak
mencintaiku lagi. Sebab sebelum aku mengatakan ini, kami sudah jarang
bertemu.
Ternyata salah kalau kupikir Husna tidak mencintaiku lagi. Mendadak
airmatanya menetes. “Aku akan bersedih melihatmu menangis. Aku terluka
melihatmu tersakiti. Tapi, aku akan sangat bahagia bila melihatmu juga
bahagia,” sahutnya sambil menatap tajam mataku, “Bila kamu tak bisa
berhenti mencintaiku, maka aku yang akan melakukannya untukmu!!! Aku
akan menghentikannya, aku akan membuatmu tak mencintaiku lagi, aku akan
melakukannya untukmu,” lanjutnya lagi.
Seperti tersambar petir rmendengar Husna bicara seperti itu. Hancur
berkeping-keping hatiku. Tak ada yang bisa menggambarkan betapa sedih
hatiku jika harus kehilangannya. Sebisa mungkin aku mengatur emosiku,
menahan airmata yang sebentar lagi akan menetes. Mataku benar-benar
seperti sedang kena asap. Akan sangat memalukan bila menangis di hadapan
Husna.
“Diam-diam aku sudah putus asa, diam-diam aku menyerah dengan
perasaanku. Aku merasa kehilangan, jauh sebelum mendengar pengakuanmu.
Aku sudah terbiasa tanpa kamu ada di sisiku. Semenjak kita jarang
bertemu, aku sudah membiasakan diri tanpamu. Bertahun-tahun kita
bersama, dan hari ini adalah hari dimana aku tak bisa lagi menemanimu.
Setelah ini, Saat aku menghilang. Tolong jangan pernah mencari atau pun
memikirkanku lagi,” lanjutnya.
Binar di mataku mulai mengganggu, penglihatanku menjadi agak kabur.
Airmata seperti sedang berdesakan ingin keluar dari mataku. Runtuh
rasanya langit mendengar Husna bicara seperti itu. Ini kali pertama
dalam hidupku dibuat kecewa olehnya.
Aku bersikeras memintanya untuk tidak menyerah mencintaiku. Tapi, dia juga bersikeras memintaku berhenti mencintainya.
“Semudah ini kah aku akan kehilanganmu? Semudah ini kah aku akan
melepaskanmu? Haruskah aku menyerah sekarang?” tanyaku dengan nada yang
sedikit meninggi, “Tidak… aku tak akan melakukannya. Kamu bohong! Semua
yang kamu katakan itu tidak seperti yang kamu rasakan! Aku tau kamu tak
akan pernah berhenti mencintaiku!” ujarku coba memastikan.
Husna hanya diam.
Bukan itu reaksi yang kuharap darinya. Kupikir dia akan menghampiri dan
memelukku, setelah mendengar apa yang kukatakan tadi. Ternyata tidak,
dia berbalik dan meninggalkanku pergi tanpa sepatah kata pun terucap.
Akhirnya, airmataku yang dari tadi sudah berdesakan satu per satu keluar
dari mataku.
Pantas, Husna meninggalkanku pergi. Ternyata dari tadi Meisandy sudah berdiri di belakangku dengan airmatanya.
Awalnya Meisandy memberiku kesempatan menjelaskan pertemuan antara aku
dan Husna. Tapi aku tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa padanya.
karena ini memang salahku sepenuhnya. Yang tidak memberitahukan padanya
kalau aku pergi menemui Husna.
Sekarang aku benar-benar terlibat dalam cinta segitiga yang dramatis.
Husna dan Meisandy sudah merenggut kebahagiaanku. Mereka harus
bertanggung jawab untuk mengembalikannya lagi padaku.
Malam hari tepat pukul 19.00.
“Rahman…”
Ayah memanggilku. Sepertinya ada sesuatu yang serius ingin dibicarakannya. Buru-buru aku mendekat.
“Duduk sebentar, Nak! Jadi bagaimana? Kamu sudah siap?”
Aku tidak fokus dengan yang Ayah katakan.
“Bagaimana?”
Dia bertanya kembali padaku. Sepertinya kali ini Ayah akan memaksaku mati-matian untuk menikahi Meisandy.
“Baik! Rahman akan segera menikahi Meisandy,” tegasku.
“Alhamdulillah,” ucapnya kemudian menghampiri dan memelukku.
Hanya itu yang bisa kukatakan sekarang. Tidak ada lagi alasan untuk menolak perjodohan ini setelah Husna meninggalkanku pergi.
Dua hari lagi aku akan menjadi seorang suami untuk Meisandy. Antara siap dan tidak rasanya.
Langit mulai gelap. Matahari mulai menenggelamkan dirinya. Berganti
sudah pemandangan di langit. Sekarang waktunya bulan dan bintang yang
menghiasinya. Ditemani rintik hujan, Meisandy datang ke rumah sekedar
mengajakku ngobrol sambil menikmati secangkir teh manis.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Kutolehkan kepala ke arahnya. “Ada apa dengan perasaanku?” aku balik bertanya padanya.
“Apa perempuan yang kamu temui kemarin masih ada disana?” tanyanya
sambil menunjuk ke arah kepalaku dengan ciri khas polos yang
dimilikinya.
“Tidak… dia tidak ada disini,” jawabku sambil menunjuk kepala, “Tapi dia ada disini,” lanjutku sambil menaruh tangan di dada.
“Oh…!!! Berarti aku lah orang yang ada di kepalamu sekarang, di dalam
pikiranmu, disana,” dia kembali menunjuk ke arah kepalaku, “Mungkin
kehadiranku ini hanya menjadi beban di hidupmu. Maaf… karena aku
membuatmu lebih sering berpikir sekarang. Aku benar-benar minta maaf,”
ucapnya lirih.
“Aku tidak pernah menyesali takdirku. Aku tidak pernah berpikir untuk
menyalahkanmu. Ini takdir yang Tuhan berikan padaku. Apa pantas aku
menolak pemberian ini?” sahutku padanya.
Meisandy hanya terdiam, matanya tak berhenti mencuri-curi pandang
padaku. Aku mengerti apa yang dirasakannya saat ini. Aku memahami apa
yang dikhawatirkannya saat ini. Seharusnya aku berterimakasih padanya,
karena selama ini dia tidak pernah memaksaku untuk mencintainya. “Jangan
pernah khawatirkan kebahagiaanku. Saat ini aku baik-baik saja. Jangan
pernah berpikir aku akan menyalahkanmu,” ujarku lagi.
“Suatu saat, jika kamu menyesal menikah denganku. Silahkan saja kamu
marahi aku, caci maki aku, lakukan apapun yang kamu mau. Tapi aku mohon!
Aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku.”
Mendadak otakku berhenti berpikir. Tak percaya rasanya mendengar Meisandy mengatakan itu padaku.
“Selama mengenalmu, berada di sisimu, jadi bagian penting di setiap
hari-harimu. Bagaimana mungkin aku akan bertahan bila kamu
meninggalkanku. Lakukanlah apapun yang kamu inginkan. Selama kamu di
sisiku, aku baik-baik saja,” lanjutnya kemudian berdiri dan
meninggalkanku.
“Selama mengenalmu, berada di sisimu, jadi bagian penting di setiap
hari-harimu. Bagaimana mungkin aku akan meninggalkanmu sendirian.”
sahutku bicara sendiri.
Hari ini adalah hari terakhir aku berstatus bujangan. Lusa, akan
menjadi moment terpenting dalam hidupku. Awal dari kisah hidup baruku
dengan keluarga baru.
Saat ini semua orang sepertinya bahagia. Tapi tidak denganku. Aku harus
berjuang agar terlepas dari hatiku yang terbalut luka. Luka lama yang
tiba-tiba saja datang menyapaku.
Kenangan manisku bersama Husna tiba-tiba saja menari indah di ingatanku.
Sulit sekali melupakan perempuan ini!!! gumamku kesal. Aku hanya bisa
memukul-mukul kepalaku berharap kenangan itu bisa segera lenyap dari
otakku.
Waktuku hanya tersisa 26 jam mengenang Husna. Setelah melangsungkan
akad nikah, tak pantas rasanya aku memikirkan perempuan lain selain
istriku. 4 tahun lamanya aku mengenal Husna, sekarang hanya ada 26 jam
waktuku untuk melupakannya. Sama sekali waktu yang tak sebanding. Tapi,
aku harus bisa melupakannya.
“Assalamualaikum.”
Di tengah indah hayalanku, tiba-tiba Meisandy datang mengganggu. Malas
rasanya beranjak dari tempat tidurku. Ingat dia sebentar lagi jadi
istriku, terpaksa aku datang menyambutnya. “Waalaikumsalam.”
“Nanti malam Rahman sibuk?” tanyanya.
“Tidak. Ada apa?”
“Aku mau Abdurrahman menemaniku membeli sesuatu untuk besok. Tapi kalau Rahman tidak bisa, biar Mei sendiri yang beli.”
“Oh… bisa… bisa…”
“Terimakasih.”
Malam tiba. Aku memenuhi janjiku pada Meisandy untuk menemaninya
membeli sesuatu. Sepanjang jalan kami hanya mengobrol. Merancang masa
depan yang akan kami jalani nantinya. Di tengah serunya obrolan, aku
membuat kesalahan fatal yang menyinggung perasaannya. Aku salah
menyebutkan nama. Konsentrasiku buyar karena saat itu aku juga sedang
memikirkan Husna.
“Apa Rahman masih memikirkan perempuan itu?” tanyanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku berusaha menenangkan pikiran agar tak salah bicara untuk yang kedua kali.
Kami mampir ke suatu tempat untuk membicarakan hal ini lebih serius.
“Benar, Rahman masih memikirkan perempuan itu?” tanyanya kembali seolah mendesakku.
Sepertinya aku tak bisa lagi berlama-lama menyembunyikan perasaan yang
ada di hatiku sekarang. Alangkah baiknya jika Meisandy tau semua yang
ada di hati dan pikiranku, ucapku dalam hati. pelan-pelan aku
mendekatinya. “4 tahun yang lalu, aku adalah seorang lelaki yang
berperangai buruk. Membangkang pada ayah. Lupa akan kewajibanku sebagai
seorang muslim. Hina sekali hidupku!!! Aku membiarkan diriku terjerumus
dalam mega dunia. Mataku jadi buta, kulakukan semua yang tidak
sepantasnya aku lakukan.”
Meisandy hanya menatapku seolah penasaran mendengar cerita dariku.
“Tiba-tiba datang seorang bidadari yang kulihat dari balik jendela
kamar. Seorang bidadari yang sebenarnya tak pernah terbayangkan olehku
kedatangannya.”
“Pelan-pelan dia bersihkan noda hitam yang melekat di hatiku. Tanpa
kutau diam-diam dia menyelinap masuk dalam hatiku. Aku tak bisa
menghindarinya, aku jatuh cinta padanya. Tapi Ayah tak menyukainya. Ayah
berprasangka buruk padanya. Ayah menganggap kehadirannya hanya membawa
pengaruh buruk untukku. Ayah tidak memberiku kesempatan untuk
menjelaskan ini semua. Ayah malah membenciku. Tapi bidadariku itu tak
pernah menyerah untuk menyelamatkanku. Dia terus hadir menemaniku. Dia
menjagaku dari nafsuku akan dunia. Dia terus hadir menyelamatkanku dari
sadisnya duniaku. Dia datang dan melarangku melihat perempuan yang
berkeliaran di sekitarku, dia datang dan melarangku menyentuh perempuan
yang ada di sekelilingku. Tapi satu kesalahan fatal yang dilakukannya,
dia tak melarangku untuk mencintainya,” ujarku lagi pada Meisandy,
“Malam itu Ibu menemuiku dalam mimpi. Ibu datang dan memarahiku karena
prilaku burukku. Dan yang paling menakutkan dalam mimpi itu, Ibu bilang
tak lama lagi akan menjemput Ayah. Aku tak ingin kehilangannya. Akan
kulakukan segala yang bisa kulakukan agar bisa menyenangkan hatinya.
Lalu, Ayah memintaku untuk menikahimu. Aku tak bisa menolaknya, apalagi
saat itu Husna telah meninggalkanku.”
Meisandy tetap saja tidak bereaksi. Dia hanya menunggu aku melanjutkan cerita.
“Setelah mimpi yang kualami itu. Aku benar-benar memperbaiki diriku. Dan
itu semua atas kemauanku sendiri, tanpa paksaan dari bidadariku lagi.
Tapi sayang, ada satu hal yang tak bisa kuhentikan, dosa besar yang tak
dapat kuhindarkan. Dan aku melakukannya bersama bidadariku itu,” ujarku.
Meisandy kaget. Sepertinya dia salah paham dengan kata yang terakhir kuucapkan.
“Maksud Rahman? Kalian telah melakukannya? Kalian telah…?” tanyanya kaget.
“Bukan… bukan itu yang kumaksud,” tepisku buru-buru sebelum Meisandy
berpikiran lebih jauh lagi, “Dosa besar yang ku lakukan adalah berbohong
pada Ayah. Dengan lancang aku menghianatinya, aku ingkar pada janji
yang telah kusepakati dengannya.”
“Ayah memintaku untuk menjauhi Husna, tapi aku tidak melakukannya. Kami
berdua tidak melakukannya. Malah kami menentang keinginan Ayah. Kami
memperkuat rasa cinta yang kami miliki, bukan menghindari seperti yang
Ayah inginkan,” jelasku lagi.
“Harusnya sejak awal, aku tidak mengharapkanmu mencintaiku. Sakit sekali
rasanya mendengar ini. Tak seharusnya aku ada di antara kalian. Mengapa
Rahman tega membiarkanku melangkah sejauh ini?” ujarnya lirih bertanya
padaku.
“Ayah memaksaku untuk melakukannya, Ayah memaksaku untuk mencintaimu.
Aku tidak bisa menolak. Aku takut terjadi sesuatu padanya jika berani
terang-terangan menolak keinginannya,” jawabku, “Tapi lama kelamaan aku
juga mulai nyaman dengan keterpaksaan yang kurasakan. Aku mulai terbiasa
dengan kehadiran Meisandy. Berbohong, jika aku bilang tidak mencintai
Meisandy sekarang,” lanjutku.
Meisandy tidak mengatakan apapun padaku. Hanya saja, airmatanya membuatku mengerti apa yang di rasakannya sekarang.
Tinggal 10 jam waktuku yang tersisa untuk mengenang kisah manis yang
kualami bersama Husna. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghindar dari
pernikahan besok. Sebentar lagi Husna akan benar-benar kuhapus dari
hidupku. Sulit rasanya malam ini untuk memejamkan mata. Aku berharap
saatku tertidur, tak ada seorang pun yang membangunkanku. Tak ingin
rasanya kubuka mata ini. Sepertinya sekarang hidupku telah berakhir.
“Rahman!”
Seseorang membangunkanku di pagi buta. Suaranya tak asing di
pendengaranku. pelan-pelan kubuka mata, memastikan pemilik suara itu
adalah seseorang yang kukenal.
“Rahman!”
Lagi orang itu memanggil namaku. Wajahnya tampak samar-samar di
penglihatanku. “Husna?” tanyaku memastikan, “Apa ini mimpi?” lanjutku,
memukul kedua pipi.
“Ini aku! Husna,” Jawabnya.
“Bukan… ini mimpi!!! Iya… ini mimpi!!!” ujarku tak percaya.
“Ini nyata…! Ini aku, Husna. Orang yang kamu tunggu.”
Bagaimana mungkin Husna bisa masuk kamarku. Tak mungkin Ayah tidak
bereaksi melihat Husna nyelonong masuk. Ada apa dengan Ayah pagi ini?
atau jangan-jangan, karena hari ini aku akan menikah. Jadi, Ayah memberi
kesempatan pada Husna untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya, pikirku.
“Apa Ayah melihatmu?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya, “Tadi malam Ayahmu memintaku untuk menemuimu.”
“Apa? Ayah mencarimu? Apa dia menyakitimu?” tanyaku penasaran.
“Ayahmu hanya memintaku untuk menemuimu. Setelah itu dia pergi.”
“Apa Meisandy tau tentang ini?”
“Ayahmu datang bersama Meisandy.”
“Apa yang terjadi? Apa Meisandy melakukan sesuatu padamu? Apa dia membuatmu…?”
“Aku tak tahu harus melakukan apa pada meisandy yang sudah lancang
merebutmu dariku. Harusnya aku membencinya sekarang!!! Harusnya aku
membalas kesakit hatianku padanya. Tapi tidak!!! Aku tak bisa
melakukannya,” ujarnya memotong omonganku, “Harusnya sekarang aku
menemuinya, dan berterimakasih. Dia orang bodoh yang pernah kukenal!!!
Beraninya dia menangis dan bersujud di hadapan ayahmu. teganya dia
memohon pada ayahmu, agar mengizinkannya melepasmu. Tega sekali dia
melakukannya!!! Dia telah mengorbankan kebahagiaannya. Semua itu
dilakukannya untukku.”
“sekarang apa salah jika aku ingin memeluknya?” lanjutnya sambil menangis.
“Jadi sekarang Meisandy?”
“2 jam lagi akad nikah akan dimulai. Meisandy menunggu kita diluar. Dia
ingin kita melakukannya,” sahutnya kemudian melangkah keluar dari
kamarku.
Akhirnya, Husna jadi istriku. Setelah Meisandy menjelaskan semua yang terjadi pada Ayah.
Dan akhirnya, mimpi terbesar dalam hidupku terwujud sudah. Senang
rasanya, Tuhan telah mengabulkan do’a yang kupanjatkan di setiap
tahajudku. Menyelamatkanku dari zina dan melengkapi rusukku dengan
kehadiran Husna.
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-segitiga/tuhan-selamatkan-aku-dari-zina.html
No comments:
Post a Comment